“Tidurlah kakak!”
Begitu ayah biasa mengingatkanku untuk menyudahi jam belajar kalau sudah larut
malam. Ia memanggilku kakak, sebagai ungkapan rasa sayangnya yang teramat
dalam. Dan aku senang dengan sapaanya itu. “Kesehatan lebih penting daripada
harus belajar terus” nasihatnya.
Jika aku mengenang kata-kata itu, seketika wajah sosok ayahku
membuncah di kepalaku. Usianya kala itu sudah kepala empat. Ia kerap berdiri di
balik pintu kamarku sambil
memperhatikanku belajar. Senyum manisnya yang penuh kasih selalu
diberikannya padaku. Kenangan ini selalu terlintas setiap kali aku belajar di
kamar kosku. Sayangnya, ketika aku palingkan wajah ke pintu kamar kosku, aku
tak menemukan siapa-siapa. “Oh, ayah,” batinku.