“Tidurlah kakak!”
Begitu ayah biasa mengingatkanku untuk menyudahi jam belajar kalau sudah larut
malam. Ia memanggilku kakak, sebagai ungkapan rasa sayangnya yang teramat
dalam. Dan aku senang dengan sapaanya itu. “Kesehatan lebih penting daripada
harus belajar terus” nasihatnya.
Jika aku mengenang kata-kata itu, seketika wajah sosok ayahku
membuncah di kepalaku. Usianya kala itu sudah kepala empat. Ia kerap berdiri di
balik pintu kamarku sambil
memperhatikanku belajar. Senyum manisnya yang penuh kasih selalu
diberikannya padaku. Kenangan ini selalu terlintas setiap kali aku belajar di
kamar kosku. Sayangnya, ketika aku palingkan wajah ke pintu kamar kosku, aku
tak menemukan siapa-siapa. “Oh, ayah,” batinku.
Ayahku adalah pria yang paling tampan yang ada di dunia
ini. Di balik parasnya yang tampan, dia juga memiliki hati yang sungguh baik. Ia
baik padaku, juga pada orang lain. Pria yang memiliki senyuman indah ini sungguh mengasihiku. Dia tidak
pernah mengeluh dalam setiap pekerjaannya untuk memenuhi kebutuhan kami.
Doanya selalu mengiringi setiap detik-detik langkah
hidupku. Dia tidak pernah putus asa dalam mendidik ku putrinya yang manis,
meskipun terkadang aku tidak melakukan apa yang dikatakanya. Dia tidak pernah
marah ataupun benci, tapi dia tetap cinta dan kasih kepadaku. Bagiku dia adalah
sosok ayah yang terhebat yang pernah ada dalam hidupku dan posisinya didalam
hatiku tidak akan pernah tergantikan oleh siapapun.
“Tuhan, terimakasih Karena telah mengaruniakan aku sosok
ayah yang sungguh mengasihiku” batinku. Aku memang tidak bisa membalas semua
kebaikannya, tapi aku berjanji akan memberikan yang terbaikku baginya.
No comments:
Post a Comment