Tugas
Akhir Kultur Jaringan
KRITIK BUKU KULTUR
JARINGAN BAB VII “PRODUKSI SENYAWA METABOLIT SEKUNDER”
Disusun oleh:
Nama : Sarina Panjewati Tampubolon
Nim : 4113141075
Kelas : Biologi Dik
B 2011
JURUSAN
BIOLOGI
FAKULTAS
MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS
NEGERI MEDAN
2015
BAB
I
PENDAHULUAN
Kultur jaringan
adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian dari tanaman seperti sekelompok
sel atau jaringan yang ditumbuhkan dengan kondisi aseptik, sehingga bagian
tanaman tersebut dapat memperbanyak diri tumbuh menjadi tanaman lengkap kembali.
Plant tissue culture is as much an art as
a science. Kultur jaringan adalah seni menumbuhkan tanaman eksperimental,
memilih organ tanaman yang cocok atau jaringan untuk memulain kultur,
pembersihan, sterilisasi dan pemotongan ke ukuran yang cocok, dan penanaman
pada media kultur dengan prosedur yang tepat dan mempertahankan keaseptikan. Pengkuturan
juga membutuhkan mata yang berpengalaman dan waspada untuk memilih jaringan
sehat dan normal untuk dikultur (Bhojwani,
2012). Karena itu proses pengkulturan harus dilakukan oleh orang-orang yang
sudah paham tentang kultur jaringan dan kondisi yang steril/aseptik.
Metabolit
sekunder adalah senyawa metabolit yang tidak esensial bagi pertumbuhan
organisme dan ditemukan dalam bentuk yang unik atau berbeda-beda antara spesies
yang satu dan lainnya. Produksi metabolit sekunder dengan cara kultur sel,
organ dan jaringan pada tumbuhan dimulai pada tahun 1947. Pada saat itu James
menemukan senyawa alkaloid dari kultur meristem tanaman solanaceae. Kultur akar
in vitro untuk memproduksi alkaloid tropane dijelaskan juga oleh Telle dan Ghauteret (Hyoscyamus niger), Stienstra (Datura
stramonium) dan Reinouts van Haga (Atropa
belladona). Hasil studi tersebut menunjukkan kemungkinan dalam skala besar
untuk memproduksi metabolit sekunder dari sel atau organ tanaman sebagai alternatif
yang menarik untuk pengolahan bahan tanaman dari sumber
pertanian. Inovasi itu menarik karena kultur sel dalam fasilitas bioreaktor
mengontrol produksi yang lebih baik daripada yang dengan bahan tanaman dari
sumber pertanian. Dalam kasus yang terakhir, produksi rentan terhadap
faktor-faktor tak terduga seperti iklim, penyakit tanaman atau masalah
transportasi (Schlatmann, 1996).
Buku yang akan
saya kritik adalah buku mata kuliah kultur jaringan dengan identitas buku yang tertera dibawah
ini.
Judul Buku : Kultur Jaringan Tanaman
Penulis :
Dr. Fauziyah Harahap, M.Si
Penerbit : Universtas Negeri Medan
Tahun
Terbit : Desember 2011
Kota Terbit :
Medan
Jumlah
Halaman : 192 hal
Buku ini terdiri
atas sepuluh bab, masing-masing bab membahas hal-hal yang berbeda. Adapun isi
dari tiap bab pada buku ini, yaitu:
Bab 1 membahas tentang pendahuluan
Bab 2 membahas tentang laboratorium
kultur jaringan
Bab 3 membahas tentang media kultur
jaringan
Bab 4 membahas tentang konsep
hormon
Bab 5 membahas tentang pemuliaan
tanaman secara in vitro
Bab 6 membahas tentang keragaman
simaklonal
Bab 7 membahas tentang produksi
senyawa metabolit sekunder
Bab 8 membahas tentang pelestarian plasma nutfah
Bab 9 membahas tentang aklimatisasi
tanaman
Bab 10 membahas tentang kultur
jaringan tanaman manggis
Topik yang akan
saya kritik adalah pada bab 7 dengan judul
produksi senyawa metabolit sekunder.
BAB
II
ISI
ISI
Pada bab 7
terdapat beberapa bagian yang sulit dimengerti karena dalam pembahasan tidak
ada keterangan lebih jelas. Selain itu,
pembaca melihat bahwa dibeberapa bagian, penulis tidak memberikan contoh
yang jelas dan sesuai dengan pernyataan sebelumnya. Pada awal topik ini tidak
ada penulis menjelaskan pengertian dari metabolik sekunder. Sebaiknya penulis
menuliskannya pada awal topik. Agar pembaca paham sebelum lanjut membaca ke
paragraf berikutnya.
Halaman 140
paragraf kedua tentang beberapa keuntungan
pemakaian teknik kultur jaringan untuk memproduksi senyawa metabolit
sekunder antara lain:
1. Tidak
tergantung faktor lingkungan (hama, penyakit, iklim, hambatan, geografis).
2. Sistem
produksi dapat diatur. Produksi dapat dilakukan pada saat dibutuhkan dan dalam
jumlah yang dibutuhkan.
3. Kualitas dan hasil produk lebih konsisten
4. Mengurangi
penggunaan lahan.
Pada setiap pernyataan diatas tidak dijelaskan
oleh penulis bagaimana rupanya tidak tergantung
faktor lingkungan itu. Bagaiamana
sistem produksi diatur. Bagaimana kualitas dan hasil produk yang konsisten dan
bagaimana bisa mengurangi penggunaaan lahan. Pada textbook
plant cell culture secondary metabolism toward industrial application di
tuliskan bahwa the production (senyawa
metabolik sekunder) is susceptible to
unpredictable factor like climate, plant diseases or transport problems.
Hal ini sesuai dengan pernyataan keuntungan pertama, namun ada yang kurang.
Pada buku itu ditulis bahwa produksi tidak rentan terhadap masalah transpor.
Kita tahu proses transport terjadi dalam tubuh tumbuhan itu. Jadi sebaiknya
ditambahkan pada keuntungan kedua yaitu tidak rentan terhadap masalah transpor.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi produksi metabolit
sekunder ada 3 pada buku ini yaitu:
1. Ekspresi
sintesis senyawa metabolit sekunder
2. Asal
eksplan
3. Kondisi-
kondisi yang mempengaruhi kultur in vitro.
Poin pertama dan
kedua sudah cukup jelas diterangkan dibuku ini, namun poin ketiga masih kurang
kurang jelas. Poin ketiga hanya menjelaskan hal-hal yang harus dipertimbangkan
apakah sintesis senyawa yang diinginkan sejalan dengan produksi biomassa atau
tidak berhubungan sama sekali, jadi path way (biosintesis) senyawa itu harus
sudah dipahami sebelum teknik pengkulturan. Pada textbook yang berjudul Plant Tissue Culture: An Introductory Text dijelaskan
bagaiamana kondisi yang mempengaruhi kultur. Dibuku itu dijelaskan bahwa
produkstivitas sel sangat dipengaruhi oleh kondisi kultur. Yang paling penting
adalah media kultur. Produksi metabolit
sekunder terjadi diakhir fase diam ketika media kehilangan komponen
penting. Penghambatan pertumbuhan sering
dikaitkan dengan cytodifferentiation dan induksi enzim untuk metabolisme sekunder.
Dalam kasus tersebut, sistem kultur ganda lebih disukai. Ini melibatkan produksi
biomassa pada media optimum untuk proliferasi sel (Medium pertumbuhan) dilanjutkan
dengan transfer sel untuk media yang
berbeda (Medium produksi), yang tidak
mendukung pertumbuhan yang baik dari sel-sel tetapi menguntungkan bag hasil
produk. Modifikasi paling berguna dibuat di medium pertumbuhan untuk memproduksi
metabolit sekunder adalah:
1. Pengurangan
atau penghapusan 2,4-D atau phytohormones lainnya,
2. Pengurangan
di tingkat fosfat, dan
3. Peningkatan
tingkat sukrosa atau perubahan karbohidrat (C) / nitrogen (N).
Media optimal
untuk memproduksi alkaloid yang berbeda oleh sistem kultur sel juga bervariasi.
Contoh, kultur sel C. roseus yang optimal untuk memproduksi ajmalisin terjadi
pada media mengandung nitrat dan konsentrasi glukosa yang tinggi dan sedikit
fosfat dan amonium. Sedangkan untuk
produksi tryptamine, glukosa harus rendah, jumlah nitrat juga sedikit, fosfat dan amonium
dengan kadar tinggi. Meningkatkan
tingkat sukrosa menjadi 6% baik buat pertumbuhan dan produksi alkaloid di media
yang sama.
Pertumbuhan
tanaman regulator dan diferensiasi mempengaruhi produksi
metabolit sekunder pada kultur sel.
Auxins umumnya termasuk dalam media untuk meningkatkan biomassa kultur sel dan
mengurangi produksi metabolit sekunder. Lingkungan fisik, seperti pH dari
media, cahaya, dan gas di ruangan juga berperan penting dalam produksi metabolit
sekunder.
Pada produksi
biomassa (hal 141), hal-hal yang menentukan keberhasilan biomassa yaitu:
1.
Sumber karbohidrat
2. Suplay
nitrogen
3. Kalium,
kalium, fosfor
4. Vitamin
5.
Zat pengatur tumbuh
Saya rasa masih
kurang penjelasan untuk poin yang pertama sehingga saya ingin menambahkan dari
textbook yang ditulis oleh Schlatmann (1996). Pada buku itu dikatakan bahwa
karboidrat yang pada umumnya digunakan adalah sukrosa dan glukosa, tetapi sel tumbuhan
juga bisa memetabolisme karbohohidrat yang lain dengan baik seperti lactosa,
fruktosa, dan galaktosa. Normalnya , sukrosa dihidrolisis tumbuhan menjadi
glukosa dan fruktosa. Sesudah itu, glukosa akan dimetabolisme terlebih dahulu
lalu fruktosa.
Pada usaha-usaha
untuk meningkatkan produksi metabolit sekunder (hal141). Ada 5 usaha yang dilakukan antara lain:
1.
Selesksi sel
Seleksi klon
pada kultur jaringan untuk mendapatkan lini sel dengan produksi metabolit
sekunder yang tinggi. Seleksi secara visual berdasarkan analisis kimia atau
berdasarkan ukuran agregat sel. Kemudian lini sel itu dikembangkan sebagai
kultur metabolit baru.
2.
Menggunakan fusi sel
Dikembangkan
dari kultur protoplas yang memiliki lini sel yang menghasilkan metabolit
sekunder tinggi. Protoplas-protoplas tersebut difusikan sehingga diarapakan
hasilnya (hibrida somatik) dengan produk metabolit sekunder yang tinggi.
3.
Penggunaan elicitor
Pada
buku ini tidak ada dijelaskan tentang konsentrasi elisitor yang digunakan.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Pandiangan (2011) menunjukkan bahwa Konsentrasi
elisitor merupakan salah satu faktor pembatas yang menentukan kandungan
metabolit sekunder pada kultur jaringan yang dielisitasi. Hal ini menunjukkan
bahwa pada membran plasma terdapat reseptor untuk elisitor dengan jumlah
tertentu, sehingga untuk meningkatkan kandungan katarantin diperlukan konsentrasi
elisitor yang optimum. Pada penelitian ini hanya digunakan satu konsentrasi
elisitor, yaitu 0,5 % (b/v) ekstrak ragi sehingga perlu dilakukan pengoptimasian
kembali konsentrasi elisitor untuk memperoleh konsentrasi elisitor yang
optimum.
Kontak antara
elisitor dan reseptor memerlukan waktu yang optimum hingga dihasilkan metabolit
sekunder yang optimum. Waktu elisitasi tersebut menggambarkan lamanya waktu
yang diperlukan sel untuk melangsungkan jalur metabolit sekunder hingga
terbentuknya suatu produk. Dalam hal ini adalah katarantin.
Penelitian yang
dilakukan Ningsih (2014) menujukkan Adanya keterbatasan dalam memperoleh
metabolit sekunder bioaktif dari tanaman utuh mendorong perkembangan aplikasi
kultur jaringan tanaman. Untuk meningkatkan produksinya diperlukan berbagai strategi.
Salah satunya adalah dengan menggunakan
elisitor, baik elisitor biotik maupun abiotik. Elisitasi sistem kultur jaringan tanaman menjanjikan karena
beberapa penelitian menunjukkan hasil yang baik dalam meningkatkan produksi
metabolisme sekunder, khususnya flavonoid, tanpa pengaruh faktor lingkungan
yang merugikan.
4.
Penggunaan kultur akar
berambut.
Akar berambut
adalah anak akar yang berupa akar kecil berbentuk seperti rambut halus.
Sedangkan yang dimaksud dengan kultur akar berambut adalah suatu metode
budidaya akar berambut secara in vitro dengan kondisi yang terkendali dan
aseptis. Pada buku ini tidak dijelaskan secara jelas bagaiamana proses kultur
akar berambut. Sehingga saya akan menambahkan prosesnya dari buku teknik kultur
jaringan.
Kultur akar
berambut merupakan kultur organ pada teknik kultur jaringan tanaman yang
utamanya digunakan untuk memproduksi metabolit sekunder. Kultur akar berambut
yang telah dilakukan yaitu kultur dari akar yang merupakan hasil transformasi
sel tanaman dengan Agrobacterium
rhizogenes. Agrobacterium merupakan bakteri tanah yang mempunyai kemampuan
untuk mentransfer T-DNA dari plasmid yang dikenal dengan Ri plasmid (root
inducing plasmid) ke dalam sel tanaman melalui pelukaan.
Prosesnya adalah
sebagai berikut, T-DNA akan terintegrasi pada kromosom tanaman dan akan
mengekspresikan gen-gen untuk mensintesis senyawa opine, di samping itu T-DNA juga
mengandung onkogen yaitu gen-gen yang berperan untuk menyandi hormon
pertumbuhan auksin dan sitokinin. Ekspresi onkogen pada plasmid Ri mencirikan
pembentukan akar adventif secara besar-besaran pada tempat yang diinfeksi dan
dikenal dengan ‘hairy root’ (Nilson & Olsson, 1997).
Penyerangan
terhadap akar oleh bakteri Agrobacterium rhizogenes yang menyebabkan tumbuhnya
akar berambut secara cepat pada eksplan. akan dapat menghasilkan metabolit
sekunder Hendaryono (2008).
5.
Penambahan inducer
Dalam buku ini
tidak ada dijelaskan apa itu inducer. Dikatakan dibuku ini hanya pemacu.
Inducer adalah senyawa kimia yang dapat memacu aktivasi enzim untuk produksi
senyawa metabolit sekunder. Penelitian Laila (2014) mengatakan Penambahan zat
kimia (PEG 6000) sebagai osmotikum mampu meningkatkan aktivitas enzim yang berperan dalam
biosintesis Pemberian PEG akan menyebabkan kekurangan air sehingga akan menginduksi
protein, mengkode gen-gen pembentuk enzim yang terlibat dalam biosintesis
metabolisme sekunder. Dengan meningkatnya kandungan enzim dalam jaringan tanaman
maka diharapkan kandungan metabolit sekunder dapat meningkat pula. Diduga enzim
yang dapat memacu pembentukan senyawa terpenoid antara lain adalah enzim asetil
CoA asetiltransferase, HMG-CoA reeduktase, enzim mevalonat kinase dan enzim
fosfomevalonatkinase. Enzim lain yang berperan dalam memacu pembentukan senyawa
terpenoid khususnya steviosida adalah CPP synthase, kaurene sintase, ent
kaurene oxidase, ent- Kaurenoic Acid 13-Hydroxylase.
Dalam jurnal
Laila (2014) diceritakan ada usaha lain yang dilakukan selain 5 usaha diatas
untuk meningkatkan produksi metabolit sekunder yaitu penambahan ZPT. Penelitian
ini merupakan penelitian eksperimental yang menggunakan Rancangan Acak Lengkap
(RAL) faktorial yaitu pemberian zat pengatur tumbuh 2,4-D (1 mg/L, 2 mg/L, dan 3 mg/L) pada media MS (Murashige & Skoog)
yang merupakan faktor pertama dan pemberian PEG 6000 (0 mg/L, 5 mg/L, 15 mg/L,
dan 25 mg/L) yang merupakan faktor kedua. Berdasarkan hasil penelitian terbukti
bahwa dengan metode teknik kultur jaringan mampu meningkatkan kandungan
metabolit sekunder steviosida pada kalus stevia, diman berdasarkan hasil uji
HPLC kandungan steviosida pada daun stevia (0,5 g) didapatkan hasil 4,113 mg/g,
sedangkan kandungan steviosida kalus
(0,2 g) pada media yang perlakuan kultur kalus didapatkan kisaran 4,297 mg/g
hingga 4,846 mg/g.
Hasil penelitian
Zulhilmi (2012) menunjukkan bahwa Pada uji kualitatif kandungan metabolit
sekunder, kandungan alkaloid meningkat dengan penambahan 2% dan 5% PEG dengan
kadar sedang, kandungan terpenoid meningkat pada penambahan 3% dan 4% PEG
dengan kadar sedang dan senyawa fenoik muncul pada penambahan 4% PEG dengan
kadar sedikit.
Pada jurnal yang
ditulis oleh Ayun (2013) menunjukkan Mekanisme secara langsung yang dilakukan
oleh PGPR yaitu dengan cara mensintesis metabolit misalnya senyawa yang merangsang
pembentukan fitohormon seperti indole acetic acid (IAA), atau dengan
meningkatkan pengambilan nutrisi tanaman. IAA merupakan salah satu hormon
pertumbuhan tanaman yang sangat penting. IAA merupakan bentuk aktif dari hormon
auksin yang dijumpai pada tanaman dan berperan meningkatkan kualitas dan hasil
panen. Fungsi hormon IAA bagi tanaman antara lain meningkatkan perkembangan sel, merangsang pembentukan akar
baru, memacu pertumbuhan, merangsang pembungaan, serta meningkatkan aktivitas
enzim.
Pada buku ini
banyak nama-nama ilmiah yang pembaca tidak mengerti, sebaiknya penulis juga
mencantumkannya nama dalam bahasa Indonesia. Juga diperlukan gambar-gambar yang
mendukung pembaca agar cepat mengerti tentang buku ini. Glosarium pada buku ini
msih sangat sedikit, ada baiknya jika ditamabahi lagi. Pada buku ini juga tidak
pertanyaan untuk dikerjakan oleh mahasiswa. Sebenarnya ada pertanyaan namun sudah
ada kuncinya. Saya rasa ini kurang efektif karena mahasiswa tidak akan mencari
jawabannya sebab sudah ada kuncinya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan:
1. Tidak
ada pengertian metabolik sekunder di pembukaan topik.
2. Penjelasan
tentang keuntungan dari penggunaan kultur jaringan untuk produksi metabolit
sekunder masih kurang jelas.
3. Pada
faktor-faktor yang mempengaruhi produksi metabolit sekunder: kondisi- kondisi
yang mempengaruhi kultur in vitro tidak dijelaskan bagaimana seharusnya kondisi
yang dimaksudkan.
4. Kurang
penjelasan untuk hal-hal yang mempengaruhi produksi biomassa
5. Ada
yang kurang untuk usaha peningkatan produksi metabolit sekunder yaitu penambahan ZPT
6. Tidak
ada nama Indonesia dari nama latin yang dibuku.
7. Pengertian
inducer tidak ada
8. Tidak
ada gambar pada buku khusunya topik bab 7.
Saran:
1. Menambahkan
pengertian metabolik sekunder di pembukaan topik
2. Menjelaskan
keuntungan dari penggunaan kultur jaringan untuk produksi metabolit sekunder.
3. Menambahkan
bagaimana kondisi- kondisi yang mempengaruhi kultur in vitro
4. Menambahkan
penambahan ZPT pada usaha peningkatan produksi metabolit sekunder
5. Menambahkan
penjelasan hal-hal yang mempengaruhi produksi biomassa
6. Membuat
pengertian inducer
7. Membuat
nama Indonesia dari nama-nama latin yang ada dibuku
8. Membuat
gambar-gambar yang sesuai dengan topik.
9. Menambahkan
istilah-istilah pada glosarium.
DAFTAR
PUSTAKA
Ayun,
K. Q, Hadiastono, T, Martosudiro, M. 2013. Pengaruh
Penggunaan PGPR (Plant Growth Promoting Rhizobacteria) Terhadap Intensitas TMV
(Tobacco Mosaic virus), Pertumbuhan, Dan Produksi Pada Tanaman Cabai Rawit
(Capsicum frutescens). Vol.1.
No.1.
Bhojwani,
S.S dan Dantu, P.K. 2013. Plant Tissue
Culture: An Introductory Text.
Springer. India
Hendrayono,
D.S and Wijayani, A, 1996. Teknik Kultur Jaringan. Kanisius.
Yogyakarta.
Laila,
F.N dan Savitri, E.S. 2014. Produksi
Metabolit Sekunder Steviosida Pada Kultur Kalus Stevi (Stevia rebaudiana bert. M.) Dengan
Penambahan ZPT 2,4-d Dan PEG (Polyethylene glykol) 6000 Pada Media MS
(Murashige & Skoog). Vol. 4.
No. 2. Hal 57-65.
Ningsih,
I.Y, 2014. Pengaruh Elisitor Biotik Dan Abiotik Pada Produksi
Flavonoid Melalui Kultur jaringan tanaman. Vol.11 No. 02.
Pandiangan,
D, 2011. Peningkatan Produksi Katarantin
Melalui Teknik Elisitasi Pada Kultur Agregat Sel Catharanthus roseus. Vol. 11 No. 2.
Schlatmann,
J.E, Hoopen, H.J.G, and Heijnen J.J, 1996. Plant Cell Culture Secondary Metabolism Toward Industrial Application.
Acid Free Paper. United States of Amerika.
Zulhilmi,
Suwirmen, Sury, N.W. 2012. Pertumbuhan dan
Uji Kualitatif Kandungan Metabolit Sekunder Kalus Gatang (Spilanthes acmella
Murr.) dengan Penambahan PEG untuk Menginduksi Cekaman Kekeringan. Vol.1. No.1.
wah ternyata jadi mahasiswa jurusan biologi... keren... 2011, seangkatan berarti... lanjutkan...
ReplyDelete